Semester awal kuliah, 24 tahun yang silam, di kamar kostku yang hangat, ditemani alunan musik slowrock yang menjadi sahabat tidurku, teman sebelah mengetuk pintu.
"Hen, ikut yuk ..."
Kulirik jam weker mungil di samping kasur. 22.30. Sudah larut. "Mau ke mana malam-malam begini?"
"Pokoknya ikut saja, dijamin asyik. Buruan..."
Sejurus aku pun mengganti baju, rapi-rapi dikit, tak ketinggalan bawa dompet. Dengan langkah gontai, kami pun menelusuri sepi dan cerahnya jalan sepanjang depan kost hingga kami sampai ke sebuah gerobak dorong dengan penerangan lampu petromax. Di sana mangkal juga beberapa tukang becak sambil mengobrol, tentu dengan rokok terjepit dengan manisnya di jari masing-masing. Alunan musik dari sebuah radio usang dengan cerita wayang khas Jogja menambah nikmatnya suasana dan akrabnya kebersamaan mereka.
Termenung aku di depan gerobak tersebut. Tanpa buang waktu, tanganku ditarik temanku untuk duduk di pojok bangku. Tersaji di depan kami bungkusan-bungkusan daun pisang dibalut kertas koran, aneka gorengan, sate burung puyuh dan usus, berbagai macam kerupuk, dan tidak ketinggalan teko minum dengan perapian arang.
Tempat apa ini? Demikian batinku bertanya-tanya. Sebelum kebingunganku bertambah, temanku pun berkata. "Ini namanya angkringan."
Ahaaa ... Aku pun mulai mengeksplorasi lingkungan. Kulirik bungkusan-bungkusan yang tersedia, mengambil satu, membukanya, dan ...
Astaga, batinku. Ternyata isinya segumpal nasi putih dengan seekor ikan teri dan secuil sambal merah. Aku lirik temanku, dia juga melakukan hal yang sama. Namun tidak ada kecanggungan sepertiku. Dengan santai dan cuek, disendoknya sebagian nasi, dicampur sedikit teri, serta di ulekin ke sambal, segumpal makanan itu meluncur dengan mulus masuk ke perutnya.
Melihat aku bengong, dia pun menyuruh aku melakukan hal yang sama. Dan, aku pun mencoba. Tahu gak rasanya? Nikmat sekali. Sekali coba akupun meludeskannya. Belum kenyang, aku pun ambil sebungkus lagi. Dibuka, kali ini lauknya beda. Kalau yang pertama teri campur sambal, kali ini segenggam tempe kering. Aku pun menghabisinya dengan penuh nafsu.
Puas dengan santapan pertamaku, giliran aneka gorengan menjadi sasaranku. Tempe, tahu, dan pisang goreng serta tidak ketinggalan kerupuk menjadi korban.
Aku haus ... dan secangkir teh manis hangat pun terseduh dengan manis di depanku. Kusruput sedikit ... waduh, panas. Temanku menertawakanku. Dia pun mengajariku untuk menikmati teh hangat ala angkringan. Dituangnya sedikit teh ke piring kecil sebagan nampan, ditiup-tiup sebentar, kemudian perlahan diminumnya sampai habis. Aku pun meniru caranya, dan ajaib ... sedikit panas pun tidak terasa, malah rasa manis-hangat mengalir dengan nyaman melewati tenggorokanku ...
Puas minum, aku lihat sate. Tapi karena aku tidak suka burung puyuh dan usus, aku pun menyudahi pesta angkring pertamaku.
Sejak itu aku ketagihan nangkring. Di sana selain bisa nikmati indahnya Jogjakarta di malam hari, aku juga bisa bergaul dengan masyarakat yang selama ini jauh dari jangkauanku, bisa memahami mereka, serta mengerti dan mengetahui indahnya dunia masyarakat yang selama ini suka dianggap remeh sebagian orang.
* * *
Istilah angkringan juga sering dipanggil nasi kucing. Aku tidak tahu asal mula kenapa dijuluki itu, namun mungkin karena isinya sedikit, trus lauknya adalah teri [kucing khan suka ikan/teri], makanya dinamakan itu ...
-Hendri Bun
bun.hendri@gmail.com
www.bunhendri.com
Comments
Post a Comment