Dia perempuan, cantik, datang dari Jawa. Yang tidak bisa saya lupakan bukan karena cara mengajarnya, melainkan paras dan kelembutannya. Hahaha ... Saking sukanya sama dia, saya ingat pernah sengaja membuntutinya pulang sehabis ngajar. Tentu saja tidak sendiri, karena rupanya ada beberapa teman pria sekelas yang juga sama. Jadilah kita ramai-ramai, mengendap-endap, diam-diam mengikuti dia. Yah, namanya juga rencana bocah ingusan, ketahuan juga. Akhirnya kita malah diajak jalan bareng-bareng, diundang ke rumahnya... dan di situlah kisah ini berakhir karena dia rupanya sudah punya suami. Setelah kejadian itu, layaknya angin berhembus, lenyap juga rasa sukanya. Dan dia memang tidak lama mengajar kami, hanya setahun. Tapi ingatan ini membekas sampai sekarang...
* * *
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa tanda jasa karena kita tidak pernah memberikan tanda jasa, yang selalu disimbolkan dengan penyematan medali –meskipun sebagian ada yang memberikan kenang-kenangan dalam bentuk cincin, bingkai foto, dll---. Tanpa tanda jasa karena mereka tidak mengharapkan banyak dari anak didik mereka kecuali satu, anak-anak mereka menjadi pintar dan menjadi orang yang berguna di masyarakat. Tanpa tanda jasa karena mereka adalah orang yang paling berbahagia di balik kesuksesan anak didik mereka, dan tidak mengharapkan imbalan.
Itu idealisme sebenarnya dari seorang guru. Karena jiwa seorang guru haruslah begitu. Guru yang benar adalah guru yang mengharapkan anak didiknya menjadi lebih besar dari dia. Guru yang benar adalah guru yang selalu berpikir bagaimana caranya anak didiknya bisa cepat menyerap materi pelajaran yang diberikan. Guru yang benar adalah guru yang bangga dan senang melihat anak didiknya berhasil. Guru yang benar adalah guru yang serius mempersiapkan sejumlah aktivitas belajar supaya anak didiknya senang belajar.
Ada beberapa guru yang berkesan dalam hidup saya. Ada yang saya masih ingat namanya, tetapi ada juga yang saya sudah lupa. Salah satunya adalah guru Bahasa Indonesia waktu saya masih SD di Pemangkat, Kalimantan Barat seperti yang saya ceritakan di atas.
Guru lain yang berkesan adalah guru Matematika waktu SMP. Berkesan karena saya pernah ‘dihina’. Waktu itu saya pernah diminta untuk mengerjakan soal di depan kelas, tetapi gak bisa. Entah itu cara dia memotivasi atau apa, dia mulai membanding-bandingkan saya dengan kakak saya, yang kebetulan bintang kelas di SMA yang sama. Kata-katanya yang paling saya ingat adalah ‘benar kamu adiknya si A (nama kakak saya). Tapi kok beda ya, satu pintar satu bodoh’. Wuihhh... sejak itu saya ketertarikan saya dengan mata pelajaran Matematika pupus. Jadi selama SMP, hanya ada satu mata pelajaran saya yang nilainya pas-pasan, Matematika.
Di SMP juga ada guru yang bertolakbelakang dengan guru Matematika saya. Namanya Suster Valentine, mengajar Sejarah. Dengan caranya yang sangat kreatif, mengajar dengan metode bercerita, dia berhasil menarik minat saya untuk menghafal sejarah Republik Indonesia. Dari jaman kerajaan pertama sampai jaman peperangan. Cara dia menceritakan Ken Arok misalnya, begitu memikat sehingga saya bisa mengerjakan ujian tertulis esai dengan sempurna. Metode mengajar, iya, itu adalah cara untuk memotivasi anak didik yang bisa juga diterapkan untuk organisasi.
Pak Sakino, itu adalah guru Matematika di SMA yang mengembalikan minat saya akan pelajaran eksakta ini. Cara mengajarnya adalah dengan pendekatan bedah kasus. Ada soal, dia menerangkan logikanya di papan tulis. Kemudian bertahap dia memberikan tugas sekolah, dari soal yang paling mudah sampai sulit. Yang dia beberkan adalah logika, bukan hasil akhir. Bagi dia kalau kita sudah menemukan logika sebuah soal, dijamin sesulit apapun bisa dikerjakan. Hasilnya, di rapor selalu tertera nilai 9.
* * *
Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, (Alm) Daoed Joesoef pernah mengatakan, di dunia ini hanya ada 2 profesi. Pertama adalah guru, dan kedua adalah bukan guru. Pernyataan ini ingin mengatakan bahwa setinggi apapun jabatan kita sekarang, sebesar apapun penghasilan kita saat ini, seluas apapun bisnis kita sekarang, janganlah pernah melupakan bahwa semua itu ada karena jasa seorang guru.
Melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk semua guru yang sudah mendidik dan membentuk saya seperti sekarang ini, baik guru di sekolah formal maupun guru informal di dunia kerja. Kalian adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kiranya Tuhan yang akan membalas semua kebaikan yang sudah diberikan kepada saya.
-Hendri Bun
bun.hendri@gmail.com; www.bunhendri.com
Comments
Post a Comment